Temukan di Blog Ini ...!

Minggu, 18 September 2011

NASEHAT NENE’ MALLOMO

Nene’ Mallomo merupakan salah satu tokoh legenda (cendekiawan) di Sidenreng Rappang yang kemudian menjadi landmark Kabupaten Sidrap yang hidup di Kerajaan Sidenreng sekitar abad ke-16 M, pada masa pemerintahan La Patiroi, Addatuang Sidenreng.
Ada juga yang menyebutkan bahwa Nene' Mallomo lahir sebelum masa pemerintahan Raja La Patiroi, yaitu pada masa Raja La Pateddungi. Beliau meninggal Tahun 1654 M di Allakuang, dimana salah satu mottonya yang terkenal dan menjadi motivasi kerja adalah “Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata”.

Pada zaman dahulu, setiap kerajaan memiliki cendekiawan yang merupakan pembimbing masyarakat dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Ada 5 orang cendekiawan yang terkenal dalam perjalanan sejarah kerajaan Bugis, yakni :
  1. Kajao Laliddo (cendekiawan kerajaan Bone),
  2. Nene’ Mallomo (cendekiawan kerajaan Sidenreng),
  3. Arung Bila (cendekiawan kerajaan Soppeng),
  4. La Meggu’  (cendekiawan kerajaan Luwu) dan
  5. Puang ri Maggalatung (cendekiawan kerajaan Wajo).
Para cendekiawan tersebut sering melaksanakan pertemuan untuk mengadakan diskusi, sambil tukar menukar pengalaman yang nantinya akan menambah wawasan setiap orang. Salah satu pertemuan yang terkenal digelar di Cenrana. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Kajao Laliddo dari Bone, Nene’ Mallomo dari Sidenreng, Puang ri Maggalatung dari Wajo, Topacaleppang dari Soppeng, Macca e dari Luwu dan Boto Lempangan dari Gowa.  Dari pertemuan tersebut, Nene’ Mallomo kemudian melahirkan buah pikirannya yang disepakati oleh para cendekiawan yang hadir. Buah pikirannya berupa sebuah prinsip yang harus dijalankan oleh aparat kerajaan dalam mewujudkan masyarakat yang taat hukum. Prinsip tersebut dikenal dengan ungkapan “Naiya Ade’ Temmakkeana’ Temmakkeappo” (hukum tidak mengenal anak cucu).

Para cendekiawan kerajaan juga berfungsi untuk menghasilkan karya yang dapat dijadikan pedoman dalam membangun kerajaan/masyarakat ke arah yang lebih baik. Pedoman tersebut lebih dikenal dengan istilah pangadereng. Menurut Muh. Salim (1984), “pangadereng meliputi segala keharusan bertingkah laku dalam kegiatan orang Bugis, meliputi keseluruhan tata tertib, pedoman hidup dan kehidupan, baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam kehidupan bermasyarakat”. Pangadereng meliputi ade' (perbuatan yang memberikan keseimbangan/mappasilasa), bicara (perbuatan saling menyembuhkan/mappasisau dan perkataan yang saling menghormati), rapang (percontohan, yakni perbuatan yang menyerupakan/mappasenrupa), wari (tata cara, yakni perbuatan yang tahu membedakan/mappallaiseng).

Sedangkan Drs. Mattulada (1968) mengatakan : “pangadereng dapat diartikan sebagai keseluruhan norma-norma, meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesamanya manusia dan terhadap pranata sosialnya secara timbal balik dan yang menyebabkan adanya gerak (dinamis) masyarakat. Pangadereng dibangun oleh banyak unsur yang saling menguatkan. Pangadereng meliputi hal ihwal ade’ (adat), bicara, rapang (contoh), wari (tata cara) dan sara’. Semua diperteguh dalam satu rangkuman yang melatarbelakanginya, yaitu satu ikatan yang mendalam ialah siri”.

Nene’ Mallomo hanyalah sebuah gelar bagi seseorang, dimana dalam bahasa Bugis Sidrap, kata Mallomo berarti mudah, yang maksudnya bahwa Nene’ Mallomo mudah memecahkan suatu permasalahan yang timbul. Nene’ Mallomo merupakan seorang laki-laki, walaupun kata Nene’ menunjuk pada istilah wanita yang telah lanjut usia (tua). Dalam budaya Bugis dahulu, kata Nene’ digunakan untuk pria/wanita yang telah lanjut usia. Nama asli Nene’ Mallomo adalah La Pagala, namun ada juga yang mengatakan bahwa nama asli Nene’ Mallomo adalah La Makkarau.

Nene'  Mallomo dikenal sebagai seorang intelektual yang mempunyai kapasitas dalam hukum dan pemerintahan serta berwatak jujur dan adil kepada seluruh masyarakatnya. Dalam konteks masalah hukum, Nene’ Mallomo mempunyai prinsip yaitu “Ade Temmakkeana Temmakkeappo”, yang berarti bahwa hukum tidak mengenal anak dan cucu. Hal ini menunjukkan sisi keadilan dan ketegasan dari seorang Nene’ Mallomo, yang juga merupakan salah seorang penyebar agama Islam di daerah Sidrap.
Salah satu petuah dari Nene’ Mallomo mengatakan bahwa orang Sidrap harus mempunyai sifat ;
  • Macca (pintar),
  • Malempu (jujur),
  • Magetteng (konsisten),
  • Warani (berani),
  • Mapato (rajin),
  • Temmapasilengeng (adil) serta
  • Deceng Kapang (menghormati orang lain).
Nene’ Mallomo juga merupakan penggagas falsafah hidup masyarakat Bugis Sidrap, yang terkenal dengan 5 (lima) M, yaitu ;
·         Massappa (mencari rezeki yang halal),
·         Mabbola (membangun rumah dari rezeki yang halal),
·         Mappabotting (mempererat silaturrahmi dengan ikatan pernikahan),
·         Mappatarakka Hajji (menunaikan ibadah haji) dan
·         Mattaro Sengareng (merendahkan diri dan keikhlasan).

Salah satu pappaseng (pesan) Nene’ Mallomo bagi aparat kerajaan adalah :
“Tellu tau kupaseng : Arung Mangkau’e, pabbicara e, suro e. Aja’ pura mucapa’i lempu e o arung mangkau’. Malempuko mumadeceng bicara, mumagetteng, apa’ riasengnge malempu, madeceng bicara e lamperi sunge’. Apa' teammate lempu e, temmaruttung lappa e, teppettu malompennge, teppolo masselomo e”.

Yang berarti : “Aku berpesan kepada tiga golongan: Maharaja, Juru Bicara dan Utusan. Jangan sekali-kali engkau meremehkan kejujuran itu, hai maharaja. Berlaku jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab yang disebut kejujuran, tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur”.

Oleh karena kearifan serta kebijaksanaannya, Nene’ Mallomo kemudian menjadi ikon dari Kabupaten Sidenreng Rappang, yaitu sebagai Bumi Nene’ Mallomo.

Sumber : www.rappang.com

1 komentar:

  1. Nasehat inilah yang sekarang banyak dilupakan oleh masyarakat Sidrap...!

    BalasHapus

Powered By Blogger